DICARI : PEMIMPI(N) DESA

  • Sep 10, 2019
  • TimSID POKID
  • BERITA, PEMERINTAHAN, SENI DAN KEBUDAYAAN, KEGIATAN, PEMBANGUNAN

Lebih kurang empat tahun yang lalu, sebulan setelah Undang – Undang Desa ditetapkan, saya mendapatkan dua kesempatan berharga untuk menjadi moderator dalam acara yang menghadirkan dua tokoh penting lahirnya UU Desa. Yang pertama adalah Budiman Sujatmiko, anggota Pansus RUU Desa. Budiman menyampaikan bahwa UU Desa mendorong proses kaderisasi pemimpin bangsa yang berakar dari desa. Yang kedua adalah Ahmad Muqowam, ketua Pansus RUU Desa. Beliau menyampaikan bahwa berhasil tidaknya implementasi UU Desa sangat bergantung pada kemampuan manajerial dan kapasitas pemimpin desa. Kata kuncinya adalah pemimpin desa. Inilah yang menjadi pijakan awal dalam tulisan ini. Berdasarkan pengalaman dalam membersamai desa, terlihat jelas hubungan antara kualitas dan kapasitas pemimpin desa terhadap kemajuan pembangunan di desanya. Dalam berbagai dialog, diskusi dan kesempatan ketika bertemu dengan warga dan perangkat desa, seringkali problem pemimpin desa terangkat dan menjadi topik pembicaraan yang hangat. Desa yang inovatif, transparan, akuntabel dan partisipatif dalam pelaksanaan pembangunannya biasanya dipimpin oleh Kepala Desa yang visioner, memiliki daya dobrak untuk melakukan perubahan, dan mempunyai kemampuan manajerial yang baik. Sebaliknya, desa yang bermasalah dalam pengelolaan anggaran dan pembangunan biasanya memiliki kualitas pemimpin desa yang kurang baik. Sedemikian vitalnya peran kepala desa, menjadikan proses memilih pemimpin menjadi semacam pertaruhan akan masa depan desa. Dan momentumnya adalah Pemilihan Kepala Desa (pilkades). Pada tahun 2018, telah terselenggara Pilkades serentak sebanyak 50 (lima puluh) desa. Sedangkan 15 desa telah melaksanakan Pilkades di akhir tahun 2016 dan sebanyak 186 desa akan menyelenggarakan Pilkades di tahun 2019. Berbagai upaya telah dilakukan oleh calon Kepala Desa untuk memenangkan Pilkades. Sayang pertarungan gagasan akan masa depan desa belum banyak dilakukan. Yang paling kentara adalah pertemuan calon kepala desa dengan tokoh – tokoh massa (votegetter) dan pemasangan baliho pada titik – titik strategis. Warga desa belum menyadari bahwa momentum pilkades sejatinya tidak hanya mencari figur Kepala Desa. Justru lebih penting adalah menentukan masa depan desa, minimal 6 tahun ke depan. Dengan memilih figur pemimpin yang visioner dan mempunyai rekam jejak yang baik, desa mempunyai modal awal untuk menentukan masa depan yang lebih cerah. Untuk menjadi calon kepala desa, seseorang wajib memenuhi beberapa persyaratan administratif yang mudah untuk dipenuhi. Namun ada satu syarat yang penting harus dimiliki oleh calon kepala desa atau pemimpin desa. Syarat ini yang belum tentu dimiliki dan kadang luput dari perhatian calon pemilih. Syarat itu adalah mimpi. Sebelum menjadi pemimpin desa, seorang kepala desa harus menjadi pemimpi. Mimpi, dalam bahasa regulasi sering disebut sebagai visi. Visi yang dimiliki oleh calon kepala desa harus benar – benar berakar dari kondisi dan kemampuan desanya. Bukan visi atau mimpi yang hanya digunakan sebagai slogan pada saat kampanye dan persyaratan administratif lainnya. Lebih dari itu, mimpi atau visi seharusnya menjadi dasar dalam meletakkan arah kebijakan pembangunan desa minimal selama enam tahun kedepan. Mimpinya harus besar, tidak lagi sekedarnya seperti sebelum pelaksanaan UU Desa, yang hanya bermimpi tentang infrastruktur desa yang baik, tapi juga mimpi tentang mengembangkan aset – aset yang dimiliki desa untuk lebih menyejahterakan warganya melalui BUMDesa, wisata desa dan usaha desa lainnya. Bukan lagi hanya tentang membangun kantor dan gapura desa, tetapi juga meningkatkan kapasitas dan kemampuan aparatur pemerintah desa untuk pelayanan publik yang lebih baik. Bukan lagi hanya tentang pengadaan seragam dan peningkatan penghasilan tetap perangkat desa, tetapi juga menciptakan lapangan kerja dan mencetak enterpreuner desa, menjamin hak kaum difabel, menjamin kesehatan serta menurunkan prevelansi stunting di desa dan menjamin hak akses terhadap pelayanan pendidikan untuk warga desa. Pemimpin adalah ‘pemimpi’ ditambah ‘n’. ‘N’ adalah nyata. Jadi, pemimpin desa adalah orang yang memiliki mimpi besar tentang desanya dan berpotensi untuk mewujudkan mimpinya menjadi nyata. Jika tidak bisa mewujudkan mimpinya menjadi nyata, maka selamanya ia akan menjadi seorang pemimpi. Bagaimana mewujudkan mimpinya? Langkah pertama adalah meyakinkan kepada calon pemilih bahwa ia memiliki mimpi dan memiliki rekam jejak serta kemampuan untuk mewujudkan mimpinya bersama – sama warga desanya. Sekali lagi mimpinya harus besar, karena selain anggaran yang dikelola, kewenangan yang dimiliki desa saat ini juga besar. Dari sisi anggaran, bila rerata per tahun anggaran yang dikelola melalui APBDesa sebesar 1 Milyar Rupiah, artinya selama menjabat Kepala Desa mengelola lebih dari 6 Milyar Rupiah. Apabila terpilih kembali di periode selanjutnya - sesuai UU Desa dimana kepala desa menjabat maksimal 3 periode - maka anggaran yang dikelola bisa mencapai 18 Milyar Rupiah. Dan selama itu pulalah, pengalaman mengelola anggaran, kemampuan manajerial, sensitifitas dan keberpihakan terhadap kaum marjinal desa, jejaring baik politik maupun pertemanan akan semakin terbangun dan meningkat. Melalui hal inilah kemudian proses lahirnya pemimpin bangsa akan berjalan. Sehingga apa yang disampaikan oleh Budiman Sujatmiko bahwa UU Desa akan mendorong proses kaderisasi pemimpin bangsa yang berakar dari desa menjadi sebuah keniscayaan. Bukan hal yang tidak mungkin kedepan kita akan temui Bupati, Gubernur atau bahkan Presiden yang dulunya adalah kepala desa. Apa yang hari ini terjadi desa, pasti akan berpengaruh pada masa depan bangsa. Untuk desa yang menyelenggarakan Pilkades, momentumnya adalah sekarang. Selamat memilih pemimpi(n) desa.   Satyagraha (Tenaga Ahli Pembangunan Partisipatif pada Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa Kabupaten Wonogiri)